Renungan Ramadhan

Makanlah ketika perutmu terasa lapar dan berhentilah makan sebelum perutmu terasa kenyang.”

Istilah sayyidus suhur (rajanya bulan) untuk bulan Ramadhan memang tidak berlebihan. Di bulan suci ini, di mana umat Muslim wajib melaksanakan puasa sebulan penuh, tentu menjadi ukuran tersendiri secara filosofis bagi manusia. Sebab, di bulan penuh berkah ini, umat Islam diajak untuk melatih diri dan berperang melawan segala nafsu. Peperangan itu tempatnya di hati dan waktunya dimulai dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari.

Karena berupa perang itulah, arti khusus yang wajib dipahami umat Muslim dalam menjalankan ibadah puasa adalah “strategi berperang”. Strategi ini bisa berupa ilmu atau pengetahan untuk memenangkan pertempuran itu. Jika strategi ini benar-benar dikuasai, maka puasa Ramadhan akan membentuk manusia “kenyang sejati”, karena cara makannya saja dari “makan sejati”. Sehingga puasa kita tidak menjadi ala kadarnya, tidak sekedar basa-basi ritual formal belaka, tanpa mendapatkan kemenangan spiritual yang diharapkan.

Ketidak-tahuan terhadap “strategi bertempur” ini misalnya terlihat dari masih belum mampunya manusia mencermati nafsu makan selama berpuasa. Antara nafsu dan kebutuhan makan untuk perut masih susah membedakan. Akhirnya, jika salah satu peperangan Ramadhan adalah melawan nafsu (nafsu apa saja: ya makan, seks, kekuasaan, harta, dan sebagainya), maka strategi yang lazim digunakan hanyalah terbatas pada obyeknya saja, yaitu soal makan atau tidak makan.

Nafsu makan misalnya. Jika diurai, konotasi dan arti yang sering dipakai selama Puasa Ramadhan ini adalah makannya. Padahal perut manusia hanya butuh makanan untuk proses metabolisme, bukan untuk memenuhi perut. Nah, yang sering dilakukan manusia dalam hal ini adalah memenuhi perut atau nafsunya, sehingga ketika berbuka puasa yang dikenyangkan adalah nafsunya (nafsu makan). Di sinilah kekalahan kita dalam strategi peperangan ini. Ilmu kita tentang perang melawan nafsu masih kalah. Ya, kalah telak!

Padahal, sesungguhnya perut kita hanya minta sebatas kebutuhannya saja untuk alat kerja. Nggak minta macam-macam! Perut tidak membedakan apakah yang masuk itu pecel atau burger, tempe goreng atau pizza Italy. Perut juga hanya minta makan sebatas kebutuhannya , bahkan kalau perut diisi berlebihan malah akan muntah. Tetapi karena terlalu “sibuk” memenuhi nafsu perutnya, yang terjadi adalah manusia menjadi hamba nafsu.

Selama bulan Ramadhan manusia dilatih untuk “makan sejati”. Seperti nasehat arif para orang bijak : makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Makan yang sesuai dengan kebutuhan perut, bukan makan yang disertai dengan nafsu-nafsu hingga harus berlebih-lebihan, karena ada orang yang “tidak bisa berhenti makan” – makan dana proyek, makan uang pajak, makan kayu hutan, makan hasil tambang, makan kursi jabatan – meski “perut sudah merasa kenyang”. Dan ada pula orang yang tidak bisa “berhenti makan”, meski “perut tidak merasa lapar”.

Sekali lagi, wilayah Ramadhan ini bukan sekedar urusan tidak makan atau tidak minum. Puasa mengajarkan makan hanya ketika ada tanda-tanda perut ini minta jatah kebutuhannya. Kemudian jabarkan ajaran itu dalam segala sendi kehidupanmu.

Sesungguhnya Puasa Ramadhan ini mengajarkan manusia untuk memegang banyak uang, mencintai kekuasaan, mencintai jabatan dan menyukai hal-hal berbau duniawi. Mengapa ? Karena uang, kekuasaan atau jabatan adalah makanan, kebutuhan manusia. Tetapi, kita jangan lupa, puasa ini pun mengajarkan untuk mengambil makanan itu jika sudah benar-benar “lapar”. Dan harus “berhenti makan” sebelum kita “kekenyangan”. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengendalian diri. Harapannya, kemampuan mengendalikan diri itu akan meresap ke dalam pola kehidupan sehari-hari, entah di rumah, di kantor, antar tetangga, atasan dan bawahan, dengan rekanan bisnis, dengan lawan politik, dst

Demikianlah, Puasa Ramadhan ini mengajarkan kita untuk ”makan sejati”, yaitu makan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Bukan “makan kamuflase”, yaitu makan yang hanya mementingkan nafsu.

Namun alangkah sedih manakala kita melihat semuanya belum terjadi seperti itu. Makan kita semua – meski kita rutin menjalankan ritual Ramadhan – ternyata masih lebih menyukai “makan yang tidak sejati”.

Itu artinya kita masih kalah telak dengan setan. (sharring MyQuran.cm)

About hadi

gemini

Posted on 6 Agustus 2011, in Umum. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar